🦇 Pancasila Dalam Bahasa Arab
ArtiIstiqlal dalam bahasa Arab adalah 'merdeka' karena Masjid Istiqlal dibangun sebagai ucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas perjuangan keras bangsa Indonesia yang berhasil mendapatkan kemerdekaan. Dengan demikian, Pancasila pada hakikatnya bukan merupakan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan
- Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, menegaskan kontribusi tokoh-tokoh agama Islam dalam penyusunan dasar dan ideologi Negera tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka mampu bekerja sama, bertukar pikir serta bermufakat dengan tokoh agama lain dan kelompok nasionalis, dan berhasil merumuskan serta menyepakati Pancasila. Salah satu bukti keterlibatan tokoh-tokoh agama Islam dalam penyusunan dasar dan ideologi Pancasila itu adalah digunakannya terminologi Alquran, hadis serta bahasa Arab untuk menyusun sila-sila dalam Pancasila. Seperti Ketuhanan yang Maha Esa yang berarti ajaran Tauhid. Kata adil dan beradab pada sila kedua diambil dari terminologi Alquran dan As-sunah. Juga kerakyatan dan perwakilan pada sila keempat serta kelima yang merupakan istilah dalam bahasa Arab. "Penggunaan kata-kata tersebut, tidak mungkin dilakukan oleh orang awam. Bahkan, istilah itu memperlihatkan bahwa pengusulnya memiliki pengetahuan dan wawasan yang sangat kuat terhadap Al-Qur'an, Hadis dan Bahasa Arab. Dan itu hanya mungkin dilakukan oleh para ulama dan tokoh agama Islam," kata Hidayat Nur Wahid, secara daring saat menyampaikan sosialisasi Empat Pilar di hadapan pengurus dan simpatisan PKS Provinsi Jambi. Acara tersebut berlangsung di aula kantor DPW PKS Provinsi Jambi, Sabtu 30/10/2021. Ikut hadir pada acara tersebut, Anggota MPR RI FPKS Ahmad Syaikhu, Ketua BPW Sumbagsel, Dr. Junaidi Auli, MM, Ketua MPW PKS Jambi, H. Syafrudin Dwi Apriyanto, Ketua DSW PKS Jambi, Jayadi, Ketua DPW PKS Jambi, Heru Kustanto, Ketua DPD, DPC dan Dpra PKS se-Provinsi Jambi. Melihat rentetan fakta sejarah, sumbangsih para ulama baik di BPUPKI, Panitia Sembilan maupun PPKI terhadap bangsa dan negara Indonesia, menurut Hidayat sudah semestinya umat Islam berada di garda terdepan dalam upaya-upaya mempertahankan dan melaksanakan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Bukan malah mengkafirkan atau membid'ahkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Karena tidak semua yang tidak ada di zaman Nabi bisa dikategorikan bid'ah. "Ini adalah urusan muamalah, bukan aqidah maupun ibadah. Jadi tidak bisa dikatakan bid'ah. Apalagi sesuatu yang belum ada di zaman Nabi, tidak serta merta masuk kategori bid'ah. Televisi dan internet misalnya, tidak ada di zaman Nabi, bahkan diciptakan oleh orang barat, itupun tidak bisa dibid'ahkan," kata Hidayat lagi. Indonesia, kata Hidayat, bukanlah negara yang berdasar Agama. Tetapi, Indonesia juga bukan negara yang mendasarkan dirinya pada komunis maupun ateis. Ini ditegaskan pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama Pancasila ini diterjemahkan oleh Ki Bagus Hadikusumo sebagai ketauhidan, atau pengakuan terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu, Anggota MPR RI FPKS Ahmad Syaikhu menegaskan sosialisasi Empat pilar tetap penting dilaksanakan. Meskipun kadang terdapat pengulangan dalam pelaksanaannya. Karena untuk membangun peradaban dibutuhkan estafeta. Empat pilar yang terdiri dari Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika diharapkan bisa menjadi guide bagi penerus bangsa dalam mencapai cita-citanya. "Para pendiri bangsa membutuhkan waktu yang lama, dengan proses yang rumit untuk menghasilkan Pancasila. Setelah proses yang sulit itu selesai, ditandai dengan kesepahaman, itulah bukti kebesaran jiwa para pendiri bangsa. Dan kita sebagai generasi penerus, wajib mempertahankan dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari," kata Ahmad Syaikhu menambahkan.* BahasaArab : Lihat RPP di dalam RPP ini juga menerangkan tujuan pembelajaran kegiatan pembelajaran yang mencakup pendahuluan dan penutup dan juga penilaian {{ statusLike }} SMA/MA/Paket C, 11, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKN) Disukai Diunduh . Potensi sumber daya alam Indonesia 3 Agustus 2022 13:17 Hidayat Nur WahidJakarta, – Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, MA mengkritisi pengaitan yang mengatakan bahwa Bahasa Arab sebagai cara penyebaran Radikalisme, sebagaimana pernah dinyatakan mantan Menteri Agama Fahrurazi. Hidayat juga mengoreksi pandangan yang menyatakan bahwa bahasa Arab merupakan sarana penyebaran Terorisme sebagaimana dinukil dari pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati. Sebaliknya, HNW justru mengingatkan bahwa ungkapan serapan yang berasal dari Bahasa Arab banyak disebut dalam Pancasila. Itu membuktikan bahwa Bahasa Arabkemahiran maupun memperbanyak penyebutannya tidak terkait dengan radikalisme maupun terorisme. Memang sudah ada klarifikasi, tetapi tidak memadai karena stigma dan tuduhan atau salah amatan itu tidak dikoreksi atau dicabut. Padahal kesalahan penilaiaannya teramat nyata. HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid mengingatkan, seandainya benar amatan itu, apa mungkin Indonesia yang memerangi terorisme dan radikalisme akan mengajari Anak-anak Sekolah dan warga umumnya untuk menghafalkan dan mengamalkan Pancasila?. Bukankah Pancasila banyak memakai kosakata dalam Bahasa Arab, sementara Pancasila tetap menjadi dasar dan ideologi negara Republik Indonesia. “Bukankah dalam Pancasila kata “Adil” tetap ada dalam sila kedua dan kelima. Lalu kata “rakyat” tetap ada pada sila keempat dan kelima, adab pada sila kedua, serta hikmat, musyawarah, dan wakil pada sila keempat. Padahal semua itu serapan dari bahasa Arab?!”ujarnya melalui siaran pers, Sabtu 11/9/2021.Menurut HNW, terorisme dan radikalisme pasti bertentangan dengan demokrasi yang simbolnya ada di Parlemen. Sementara parlemen di Indonesia yaitu MPR, DPR dan DPD, masih tetap mempergunakan istilah dasar yang kesemuanya serapan dari bahasa Arab. Yaitu, Majlis, Musyawarat, Dewan, Wakil, Rakyat, serta Daerah. Bukankah itu semua berasal dari bahasa Arab?!Lebih lanjut, HNW mengatakan bahwa tuduhan dan framing tendensius tersebut patut ditolak dan dikritisi. Selain tidak sesuai dengan fakta, tetapi juga karena framing negatif itu mendowngrade nilai-nilai dalam Pancasila dan kehidupan berdemokrasi dengan simbol Parlemennya. “Jadi, apabila ada pernyataan memperbanyak Bahasa Arab disebut sebagai salah satu ciri penyebaran terorisme, disadari atau tidak itu bisa jadi bentuk “teror” terhadap Pancasila dan Parlemen Indonesia yang banyak ungkapannya diserap dari bahasa Arab,” ujarnya. HNW menegaskan bangsa Indonesia menolak radikalisme dan terorisme. Tetapi hendaknya dilakukan dengan berbasiskan kebenaran, bukan framing apalagi Islamophobia. Perlu rasional dan kritis juga, apabila penyebaran terorisme dikaitkan dengan penyebaran Bahasa Arab, lalu bagaimana dengan fakta penyebaran tindakan terorisme di Indonesia dan di dunia yang tidak terkait bahasa Arab. “Apakah OPM yang menteror kedaulatan NKRI di Papua itu berbahasa Arab? Atau Belanda/VOC yg menteror dan menjajah Indonesia ber- abad2 itu juga berbahasa Arab?. Juga terorisme supremasi kulit putih Ku Klux Klan di Amerika dan di Selandia Baru serta Kanada?. Juga teror negara Israel terhadap Palestina?. Apakah juga terkait dengan bahasa Arab?. Kan tidak. Tetapi mengapa semua itu tidak disoroti? Inilah yg menampakkan adanya Islamophobia dibalik tuduhan terhadap bahasa Arab. Radikalisme dan Terorisme tidak terkait dengan penyebaran bahasa Arab maupun lainnya. Tetapi radikalisme dan terorisme tetap ditolak, bahasa apapun yang dipergunakan,” tegasnya. Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera PKS ini menambahkan, memang banyak juga orang Arab non Muslim yang mempergunakan bahasa Arab. Tetapi secara prinsip Bahasa Arab lebih dikenal sebagai bahasa AlQuran, kitab sucinya Umat Islam, dan bahasa Hadis-hadisnya RasuluLlah SAW. Bahasa Arab di Indonesia juga makin menyebar dengan banyaknya Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi Islam. Juga meningkat tajamnya jumlah calon Jemaah Haji dan Umroh, serta pengajian-pengajian di TV atau Majlis-majlis Taklim. Juga karena menguatnya hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia dengan Negara-negara berbahasa Arab di Teluk/Timur Tengah. Bahasa Arab juga sudah diterima dan menyebar secara internasional ke banyak organisasi-organisasi di tingkat gobal. Bahkan, dari enam bahasa resmi di Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB dan Persatuan Parlemen Dunia IPU salah satunya adalah bahasa Arab. TIdak hanya di level pemerintahan, lanjut HNW, bahasa Arab juga digunakan di kegiatan-kegiatan bisnis internasional, sehingga banyak pebisnis dari mancanegara berusaha belajar bahasa Arab. “Itu karena sekarang banyak negara Arab sebagai pemain utama dalam ekonomi global, sehingga banyak pebisnis bahkan mempelajari bahasa Arab. Bahkan, bahasa Arab saat ini berada di peringkat Power Language Index sebagai bahasa dunia terpenting kelima. Dan itu tentu bukan karena bahasa Arab sebagai faktor penyebaran terorisme,” ujarnya. Karena itu, Anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan keagamaan ini mengimbau agar masyarakat dan generasi muda, waspada tapi tidak terpancing jadi saling curiga dan terpecahbelah karena adanya tuduhan tak mendasar itu. ”Generasi Muda dan masyarakat umumnya, selain belajar menggunakan dan menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar, juga perlu mempelajari banyak bahasa internasional, termasuk bahasa Arab untuk menghadapi kerja sama internasional dan memenangkan persaingan global. Tirulah para Pahlawan dan Bapak-bapak Bangsa yang tidak phobia dengan bahasa asing termasuk Bahasa Arab. Seperti, KH A Dahlan, KH Hasyim Asyaari, H Agus Salim, KH Mas Mansoer, KH Kahar Mudzakir, Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, M Natsir, tokoh-tokoh Pahlawan Nasional yang dikenal ahli dalam berbahasa Arab,” Luki Herdian Editor Pahala Simanjuntak Berdasarkantabel diatas dapat kita simpulkan beberapa perbedaan yang ada pada bahasa Arab resmi dan bahasa Arab Pasar, yakni : Jika bahasa Arab fushah atau resmi sangat memperhatikan kaidah - kaidah nahwu dan sorof atau tata bahasanya sedangkan dalam bahasa Arab 'amiyah tidak memperhatikan kaidah tata bahasanya seperti nahwu dan shorofnya.INFO NASIONAL - Wakil Ketua MPR Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid MA menegaskan kontribusi tokoh-tokoh agama Islam dalam penyusunan dasar dan ideologi Negera tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka mampu bekerjasama, bertukar pikir serta bermufakat dengan tokoh agama lain dan kelompok nasionalis, dan berhasil merumuskan serta menyepakati Pancasila. Salah satu bukti dengan digunakannya terminologi Alquran, hadis serta bahasa Arab untuk menyusun sila-sila dalam Pancasila. Contoh, Ketuhanan yang Maha Esa yang berarti ajaran Tauhid. Kata adil dan beradab pada sila kedua diambil dari terminologi Alquran dan As-sunah. Juga kerakyatan dan perwakilan pada sila keempat serta kelima yang merupakan istilah dalam bahasa Arab. "Penggunaan kata-kata tersebut tidak mungkin dilakukan oleh orang awam. Bahkan, istilah itu memperlihatkan bahwa pengusulnya memiliki pengetahuan dan wawasan yang sangat kuat terhadap Al-Qur'an, Hadis dan bahasa Arab. Dan itu hanya mungkin dilakukan oleh para ulama dan tokoh agama Islam," kata Hidayat Nur Wahid, secara daring saat menyampaikan sosialisasi Empat Pilar di hadapan pengurus dan simpatisan PKS Provinsi Jambi di aula kantor DPW PKS Provinsi Jambi, Sabtu, 30 Oktober hadir pada acara tersebut, Anggota MPR RI FPKS Ahmad Syaikhu, Ketua BPW Sumbagsel, Dr. Junaidi Auli, MM, Ketua MPW PKS Jambi, H. Syafrudin Dwi Apriyanto, Ketua DSW PKS Jambi, Jayadi, Ketua DPW PKS Jambi, Heru Kustanto, Ketua DPD, DPC dan Dpra PKS se-Provinsi HNW, sumbangsih para ulama semestinya menjadi teladan agar umat Islam berada di garda terdepan untuk mempertahankan dan melaksanakan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Bukan malah mengkafirkan atau membid'ahkan Pancasila dan UUD NRI 1945, karena tidak semua yang tidak ada di zaman Nabi bisa dikategorikan bid' "Ini adalah urusan muamalah, bukan akidah maupun ibadah. Jadi tidak bisa dikatakan bid'ah. Apalagi sesuatu yang belum ada di zaman Nabi tidak serta merta masuk kategori bid'ah. Televisi dan internet misalnya, tidak ada di zaman Nabi, bahkan diciptakan oleh orang barat, itupun tidak bisa dibid'ahkan," kata kata HNW, bukanlah negara yang berdasar Agama, tetapi Indonesia juga bukan negara yang mendasarkan dirinya pada komunis maupun ateis. Ini ditegaskan pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama Pancasila ini diterjemahkan oleh Ki Bagus Hadikusumo sebagai ketauhidan, atau pengakuan terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Anggota MPR RI FPKS Ahmad Syaikhu menegaskan sosialisasi Empat pilar tetap penting dilaksanakan, meskipun kadang terdapat pengulangan dalam pelaksanaannya. Karena untuk membangun peradaban dibutuhkan estafeta. Empat pilar yang terdiri dari Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika diharapkan bisa menjadi guide bagi penerus bangsa dalam mencapai cita-citanya. "Para pendiri bangsa membutuhkan waktu yang lama, dengan proses yang rumit untuk menghasilkan Pancasila. Setelah proses yang sulit itu selesai, ditandai dengan kesepahaman, itulah bukti kebesaran jiwa para pendiri bangsa. Kita sebagai generasi penerus wajib mempertahankan dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari," kata Ahmad Syaikhu. *